Bogor [2] : Cendekiawan
Hari pertama di Bogor untuk membantu mempersiapkan keperluan kontingen PIMNAS UGM, dimulai dengan masalah konsumsi. Sempet kasihan lihat pak-pak ibu-ibu yang baru aja dateng gak ngerti apa-apa dan tiba-tiba harus mencari konsumsi di kota yang baru aja dikunjungi. Tapi ya gitulah dunia kerja.
Setelah muter-muter cari tempat dan melewati macet yang agak ndak karuan akhirnya berkat bantuan Pak Henri sebagai supir kita di sana dapatlah warung makan ayam kampung yang menyediakan menu yang cocok untuk semua kalangan.
Semua kalangan? iya kalau diinget salah satu bahasan paling sering selama kerja -parttime- di kantor ini adalah ke-wangun-an (kelayakan) sebuah makanan untuk disajikan ke kalangan tertentu. Karena percaya atau ndak, aku sering banget denger cerita ibu-ibu yang "ditegur" hanya karena pesenan makanan kurang wangun walaupun kalau menurutku makanan seharga 25-30ribu perkotak itu sudah sangat wangun.
Dan hal itu kejadian lagi kemarin pas di Bogor, datang lagi teguran karna makanan yang disajikan malam sebelumnya kurang "sip" atau layak untuk kalangan tersebut. Teguran ini datang langsung dari salah satu dari mereka.
Sebenernya ibu-ibu yang ngurusin konsumsi mungkin ngerasa biasa aja dengan teguran tersebut. Karena selain udah biasa mungkin beliau juga tahu emang itu pekerjaannya. Tapi yang kadang bikin sedih lebih ke siapa penegurnya, iya sesuai judul post ini, kalangan yang aku maksud adalah para kaum cendekiawan, para dosen.
Kadang mungkin aku nya yang telalu naif atau bagaimana, karna kukira jadi dosen atau guru itu penuh pengabdian, yang tidak terlalu mempermasalahkan materi yang diperoleh, apalagi sekedar masalah makanan.
Pernah ngalami juga yan aku pas jadi panitia seleksi mapres-yang kalo urusanya mapres pastinya bekerja di bawah lembaga tersebut~
BalasHapus