Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2016

Tentang Masa Depan

Kalau bicara masa depan yang indah, pikiran kita tidak bisa lepas dari pekerjaan yang layak, yang berarti kita harus belajar saat ini; kehidupan yang bercukupan, yang berarti kita harus kerja keras hari ini; keluarga yang bisa mengademkan hati, menabung untuk kebutuhan anak-orang tua, pergi haji, dan sebagainya, dan sebagainya. Kadang kita lupa tentang masa depan yang harusnya lebih kita pikirkan, kehidupan akhirat. Kadang kita disibukkan oleh misi-misi menuju visi dunia, dan lupa dengan misi-misi menuju visi akhirat. Dengan rela mengambil harta haram untuk kebutuhan "masa depan", dengan rela melalaikan agama demi belajar untuk "masa depan", dan sebagainya, dan sebagainya. lalu jadi inget sebuah hadits, Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang A

Tentang Masa Lalu

Dulu aku pernah tanya pas masih kecil, polos aja, "Ma, apa itu masa lalu?" Ibuku jawab sambil ngerjain tugas rumahnya,"Masa lalu itu ya sekarang, rumah kayak gini, kasur kayak gini, ini itu akan jadi masa lalu" enggg.... gak paham maksudnya pas itu. tapi kalau dibayangin, sekarang, iya sekarang setelah bertahun-tahun, cerita itu udah jadi bener-bener masa lalu. Ibuku seakan-akan ngajarin untuk gak terlalu memikirkan masa yang kemarin, tapi mikirin masa sekarang yang akan menjadi masa lalu di masa mendatang.

Sampai Takdir yang Memisahkan

Seorang pemuda ditegur satpam karena masuk ke area ruang tunggu. Dengan alasan ingin mengucapkan selamat tinggal ke ibunya yang sudah menua. Kini satpamnya sudah berjumlah dua dan si anak masih tetap berdiri kokoh menatap jendela kereta dari peron stasiun. Di baliknya, di mana sang ibu berdiri di dalamnya melambaikan tangannya sambil tersenyum mengucapkan selamat tinggal. Ibu tersebut tersenyum dan terus melambai sampai kereta berjalan, dan semakin cepat, dan menjauhkan pandangan mereka berdua. Sampai takdir memisahkan mereka berdua. Sang ibu bisa duduk kembali di kursinya dengan puas dan bahagia. ... Sayangnya itu cuma khayalanku yang duduk di sebelahnya. Karna yang terjadi pagi itu sang Ibu mencari-cari anaknya melalui jendela kereta, menyapu seluruh bagian stasiun. Tapi tidak berhasil menemukan. Si anak sudah tidak ada, pergi, entah kemana. Tidak ada lambaian tangan. Tidak ada yang memisahkan. Kereta berangkat, dan Sang Ibu duduk kembali dengan wajah lesu menatap jendela.